Selasa, 28 September 2010

= Jurnalisme Damai versus Jurnalisme Kekerasan

Jurnalisme Damai versus Jurnalisme Kekerasan

(Alternatif meminimalisir potensi konflik)

Oleh : Dede Drajat [1]

Abstract

This article describes trend of national mass media, although they don’t yet forging war, but its role in a few conflict in Indonesia are frequently seen as provocators into certain situation. Mass media is assumed to sell violence in the pleasing their readers and getting selling point from it. Media forget social fanaticm of the public. They forget those news can easily to trigger the public emotion. We offer peace journalism concept as an alternative to minimize conflict potencys and to enlarge the potency of integrate nation.

Keywords: Peace Journalism, Violence Journalism

Artikel ini menjabarkan mengenai trend media massa, meskipun mereka belum ditempa di peprangan, tetapi perannya di sejumlah konflik di Indonesia sering membaut mereka nampak seperti provokator di sejumlah situasi. Media massa dianggap telah menjual kekerasan untuk menyenangkan pembaca dan mendapatkan penjualan yang baik dari hal itu. Media melupkan kefanatikan sosial dari publik. Mereka lupa berita yang mereka sebarkan dapat memicu emosi publik. Kami menawarkan konsep jurnalisme damai sebagai alternatif untuk meminimalkan potensi konflik dan memperbesar potensi dari persatuan bangsa

Kata kunci : Jurnalisme Damai, Jurnalisme Kekerasan

Pendahuluan

Indonesia telah mengalami banyak insiden kekerasan sejak 1998, mulai dari kekerasan rasial pada 13-14 Mei 1998 di Jakarta terhadap etnis Tionghoa, pembersihan etnis Madura di Sambas, Kalimantan Barat pada 1999, konflik di Maluku 2000-2001, darurat sipil di Aceh, dan konflik Muslim-Kristen yang kronis di Poso sejak Desember 1998.

Meletusnya aksi-aksi kekerasan ini tampaknya terkait dengan peningkatan identitas rasial, etnis, atau keagamaan yang dahulu ditekan dan dihomogenisasi di bawah rezim otoriter Soeharto demi kepentingan politik, khususnya stabilitas nasional, untuk memastikan proses pembangunan ekonomi berjalan dengan baik.

Selama era Orde Baru, konflik-konflik seperti tadi disembunyikan di bawah "karpet tebal persatuan dan kesatuan" dan diselesaikan dengan cara-cara represif. Pihak-pihak yang berseteru dibungkam. Kita menganggap konflik sudah selesai tetapi sebenarnya kita terus- menerus menyimpan bom waktu.

Sejak Orde Baru tumbang, euforia demokrasi membuka peluang bagi kelompok-kelompok tersebut untuk menggaungkan kepentingan-kepentingannya.

Dalam kondisi demikian, identitas kelompok tumbuh dan terkadang saling bersaing yang pada gilirannya tidak jarang menimbulkan ketegangan dan konflik antarkelompok tersebut. Ketegangan dan konflik tersebut sering menimbulkan kekerasan dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, fenomena ini mengindikasikan integritas nasional yang mulai terancam. [2]

Sejak runtuhnya rezim Soeharto, kekerasan dan kerusuhan di beberapa wilayah Indonesia seakan-akan tak kunjung usai. Konflik antar suku, ras, agama, kelompok dan antar golongan terus berkobar silih berganti dengan tidak sedikit membawa jatuh korban. Dari masa Presiden Habibie, Presiden Abdurahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri hingga masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kondisi stabilitas masyarakat Indonesia belum nampak kembali “normal” seperti sebelum krisis.

Banyaknya peristiwa kekerasan dan kerusuhan yang menjadi konsumsi pemberitaan sehari-hari. Media massa cenderung mengeksploitasi aspek dramatik konflik demi penciptaan sensasi. Implikasi yang berkembang subur justru potensi konfliknya dibandingkan potensi integrasi, sehingga eskalasi konflik semakin meluas. Walaupun pada dasarnya mengangkat peristiwa kekerasan menjadi suatu berita merupakan hal yang wajar karena mengandung realitas yang bernilai berita. Namun, akan menjadi persoalan manakala kondisi sistem sosial politik Indonesia saat ini sedang mengalami kerawanan. Artinya, peran strategis pemberitaan media massa yang cenderung akan menciptakan potensi konflik akan menjadi signifikan untuk dibicarakan.

Dalam masyarakat senantiasa hadir potensi konflik dan sekaligus potensi untuk berintegrasi. Pada konteks konflik, dikatakan Mark Thompson, tidak dipungkiri bahwa konflik masyarakat sipil terjadi karena persaingan berbagai kekuatan politik. Media massa mempunyai peranan besar dalam menghasilkan konflik tersebut. Dicontohkan, sebagaimana yang terjadi di Rwanda, Bosnia dan Kosovo. All sides have sought to mobilize and manipulate public opinion. The media no longer merely comment on war, they are part of the frontline”. (Mark Thomson, “Forging War”, 1999). [3]

Di Indonesia, media massa memang belum sampai pada “forging war” (membentuk perang), namun peranannya dalam beberapa konflik di tanah air diasumsikan “memanasi” situasi. Media massa dianggap menjual kekerasan untuk kepentingan pembacanya. Media lupa akan fanatisme masyarakat yang bisa dengan mudah terpicu emosionalnya karena adanya suatu pemberitaan.

Tulisan ini tidak akan memaparkan jurnalistik kekerasan versus jurnalistik perdamaian dalam kontek adanya potensi konflik dan potensi integrasi dalam masyarakat Indonesia secara mendalam, namun arah tulisan akan lebih memfokuskan bagaimana sebenarnya gambaran jurnalisme damai sebagai salah satu alternatif meminimalisir potensi konflik. Tulisan ini juga tidak berpretensi untuk menarik kesimpulan adanya keterkaitan antara suatu pemberitaan dengan konflik yang terjadi, namun hanya akan melihat adanya upaya alternatif dari jurnalisme damai (peace jurnalism) dalam rangka meredakan konflik-konflik yang sampai saat ini belum berkesudahan.


Jurnalisme Kekerasan

Jurnalisme kekerasan atau juga war journalism, mempunyai karateristik, ketika memberitakan pertikaian di masyarakat lebih berorientasi pada peristiwa kekerasannya. Seakan-akan kekerasan yang merupakan penyebab kekerasan itu sendiri, violence as its own cause. Jurnalisme ini pemberitaannya cenderung berfokus pada arena, atau tempat di mana konflik kekerasan itu sedang terjadi. Dalam liputannya, yang diberi banyak perhatian pada dampak yang nampak secara fisik, seperti jumlah korban yang mati, atau cedera, jumlah materi yang hancur, atau yang terbakar, baik yang berwujud rumah, mobil, masjid, gereja atau bahkan desa. Dengan kata lain jurnalisme kekerasan lebih suka mengekspolitasi the visible effect of violence, korban kekerasan yang nampak dibanding efek kekerasan yang tidak tampak.

Bagi khalayak yang diterpa media yang menggunakan war journalism, lebih dimungkinkan ikut larut ke dalam emosi untuk memihak salah satu bagian masyarakat yang sedang berkonflik. Apalagi jika dalam pemberitaan itu, media menyederhanakan masalah dengan mereduksi pihak-pihak yang terlibat konflik kekerasan hanya dengan konsep "us and them" (kelompok kita dan mereka). Kemudian menunjukkan ataupun "berkesan" memberikan penilaian, tentang pihak mana yang sedang menjadi pemenang ataupun pecundang (winners and losers).

Sumber berita violence journalism lebih banyak berasal dari elite yang bertikai. Padahal elite politik dimanapun dan siapapun cenderung menggunakan statementnya sebagai bagian dari upaya "menyerang" atau "mengalahkan" pihak lain, sehingga isinya banyak yang bersifat spekulatif dan provokatif. Dalam konteks, violence journalism, suara-suara alternatif, rakyat kecil, para korban pertikaian politik, atau mereka yang merindukan kedamaian, kurang mendapatkan tempat sebagai sumber berita.

Kebanyakan diduga pengelola media ketika berhadapan dengan fakta sosial yang berupa konflik, memang cenderung lebih suka menggunakan pendekakan war journalism. Mereka seakan "menjual" kekerasan untuk kepentingan industri medianya. Dengan alasan semangat keterbukaan, atau fungsi media sebagai cermin realitas (the mirror of events), demi menyenangkan target audience, dan public opinion media itu, lalu mereka melupakan fanatisme sosial yang terkadang "mudah" terpicu emosionalnya.

Jurnalisme Perdamaian

Istilah jurnalisme damai mulai diperkenalkan kali pertama oleh Profesor Johan Galtung, ahli studi pembangunan pada 1970-an. Galtung mencermati, banyak jurnalisme perang yang mendasarkan kerja jurnalistiknya pada asumsi yang sama, seperti halnya para jurnalis yang meliput olahraga. Yang ditonjolkan hanyalah kemenangan dan kekalahan dalam "permainan kalah-menang" antardua pihak yang berhadapan. [4]

Peace Journalism mendasarkan pada standard jurnalisme modern, yang berpegang pada azas imparsialitas, faktualitas, sekaligus dilengkapi dengan prinsip-prinsip yang bertujuan untuk menghindarkan kekerasan. Atau mencegah terjadinya kekerasan di dalam masyarakat. Makanya jurnalisme ini mengajarkan, wartawan jangan menjadi bagian dari pertikaian, melainkan harus menjadi bagian dari upaya solusi. [5]

Pada saat media massa dihadapkan realitas yang isinya pertikaian dengan kekerasan, jurnalisme damai menyarankan tetap diungkapnya peristiwa itu, namun menerapkan prinsip-prinsip obyektivitas berita. Menerapkan framing [6] yang berorientasi pada pengungkapan informasi konflik, mengungkap akar masalah, dan menunjukkan konsekuensi negatif akibat konflik tersebut. Dalam konteks ini, media dituntut mampu mengungkap fakta secara lebih lengkap, menggambarkan atau melakukan mapping, memetakan konflik guna memunculkan solusi. Prinsip jurnalisme 5 W + 1 H, ditambah dengan unsur S, yaitu solusion. Artinya pers memberi ruang yang cukup untuk pemikiran lain yang netral, yang rasional, dan kredibel, agar terjadi diskusi sosial untuk mencari solusi yang paling kecil resikonya.

Jurnalisme damai juga menampilkan berita dengan pendekatan framing bahwa konflik dengan kekerasan merupakan suatu problem kemanusiaan yang harus dihentikan dan dicegah. Konflik dengan kekerasan hanya akan memunculkan kerugian, penderitaan kemanusiaan, trauma psikologis, hilangnya masa depan, rusaknya struktur sosial, moral, dan budaya. Atau menunjukkan invisible effect of violence. Yang penyembuhannya membutuhkan waktu lama, dan sulit.

Dalam konteks ini, intinya media secara etis berkewajiban mencari empati pada audience-nya, bahwa kekerasan hanyalah membuahkan kesengsaraan. Karena itu suara-suara orang yang menginginkan perdamaian, ataupun korban-korban kekerasan yang sudah cukup banyak di negeri ini, yang biasanya wanita, orang tua dan anak-anak harus diberi tempat yang proporsional di dalam pemberitaan. Dengan demikian agenda media tidak hanya dipenuhi oleh statement elite yang bertikai, yang acapkali "memanaskan telinga" pihak lain. Tapi lebih banyak menampung suara pencinta perdamaian, atau jeritan korban pertikaian politik, giving voice to the voiceless, memberikan kesempatan bicara pada mereka yang tidak bersuara, agar teriakan segera diwujudkannya sehingga perdamaian dapat terlaksana.

Selanjutnya pemberitaan media lebih diorientasikan untuk mencari inisiatif-inisiatif solusi dan rekonsiliasi, sekaligus mencegah terjadinya kekerasan baru di masyarakat. Di sinilah perlunya kepandaian dan kreativitas kalangan jurnalis. Di satu sisi mereka tetap mengungkap fakta, namun di sisi yang lain mereka dituntut arif, dengan memberikan bingkai pada fakta itu, bahwa kekerasan hanya akan memunculkan penderitaan dan kehancuran. Dan kedamaian hanya akan terwujud bila kekerasan ditiadakan. Itulah sebuah alternatif jurnalisme untuk negara yang sedang dilanda ancaman konflik kekerasan sosial seperti Indonesia.

Solusi Alternatif

Pemberitaan media di Indonesia -hanya karena dengan alasan mengejar tiras- tak jarang meninggalkan standard jurnalisme profesional, yaitu dalam pengungkapan fakta tidak didasari pada tuntutan etika dan jurnalisme modern. Seringkali kurang memperhitungkan konsekuensi dari pemberitaan yang tidak mengikuti kaidah jurnalisme. Kaidah etika, azas imparsialitas, hingga obyektivitas yang menuntut akurasi berita acapkali dilupakan. Padahal dalam setiap pemberitaan media massa senantiasa dituntut untuk meperhitungkan segala aspek jurnalisme ini, dan apabila prinsip jurnalisme itu dilakukan dengan sendirinya isi media tidak akan terkesan provokatif atau mem blow up pertentangan.

Penerapan standard jurnalisme tersebut menjadi penting, mengingat pada dasarnya media massa merupakan sarana manusia untuk memahami realitas. Sebab itu media massa senantiasa dituntut mempunyai kesesuaian dengan realitas dunia yang benar-benar terjadi. Maksudnya agar gambar realitas yang ada di benak khalayak - the world outside and the pictures in our heads, demikian istilah Lippman (1922) - tidaklah bias karena informasi media massa yang tidak kontekstual dengan realitas.

Media massa dibutuhkan masyarakat tak lain karena informasinya. Informasi itu sebagai dasar menentukan sikap, perilaku, atau pun respon terhadap berbagai hal, termasuk persoalan politik. Media massa mempunyai tanggung jawab moral terhadap kebenaran informasi. Karena etos dasar media -menurut Magnis Suseno--tak lain adalah etos kebenaran. Kebenaran dalam pengertian etos ini adalah memberitakan keadaan sebenarnya (Suseno; 1986:122).

Dalam jurnalisme, kebenaran tidaklah bisa diklaim oleh satu pihak. Tapi harus dikonfirmasikan menurut kebenaran dari pihak lain. Inilah mengapa pemberitaan di media senantiasa dituntut untuk mengungkapkan kebenaran secara impartial. Yaitu salah satu syarat obyektifitas berita yang sering dikenal dengan istilah pemberitaan cover both side, dimana media menyajikan semua pihak yang terlibat sehingga pers mempermudah pembaca menemukan kebenaran (Siebert, Peterson, Shramm; 1986:100). Selain tuntutan pemberitaan yang fair, media juga dituntut melakukan pemberitaan yang akurat, yang tidak boleh berbohong, menyatakan fakta jika itu memang fakta, dan pendapat jika itu memang pendapat (Siebert, Peterson, Shramm; 1986:99).

Sementara dalam konsepsi yang sama Everette Denis dan DeFleur dalam buku Understanding Mass Communication, menunjukkan bahwa media senantiasa dituntut mengembangkan pemberitaan yang obyektif, yaitu "reporting format that generally separates fact from opinion, presents an emosionally detached view of the news, and strives for fairness and balance" (DeFleur; 1994:635). Tuntutan lain suatu pemberitaan yang ideal adalah tidak menggunakan bahasa yang mengeraskan realitas, atau puffery. Media hendaknya bisa mengungkap fakta tanpa harus membuat pembacanya menjadi ingin ikut terlibat dalam konflik yang diberitakan. Sedang menurut McQuail, suatu pemberitaan yang objektif mempunyai syarat-syarat sebagaimana yang dia kemukakan dalam buku Mass Communication Theory bahwa "information should be objective in the sense of being accurate, honest, sufficiantly complete, true to reality, realible, and separating fact from opinion. Information Should be balanced and fair (impartial) ---reporting alternative perspectives in a non-sensational, unbiased way" (McQuail; 2000 : 172). Jadi menurut perspektif ini, informasi dikatakan objektif jika akurat, jujur, lengkap, sesuai dengan kenyataan, bisa diandalkan, dan memisahkan fakta dengan opini. Informasi juga harus seimbang dan andil, dalam arti melaporkan perspektif-perspektif alternatif dalam sifat yang tidak sensasional dan tidak bias.

Obyektivitas, betapapun sulitnya, harus diupayakan oleh insan-insan media. Obyektivitas berkait erat dengan kemandirian media sebagai institusi sosial. Institusi media memang dituntut obyektif dan netral atas semua fakta. Hal itu penting mengingat signifikasi efek media terhadap khalayak, sebagaimana konsepsi Lippmann di bagian muka.

Upaya menyampaikan kebenaran fakta yang akurat juga berkait dengan persoalan pemilihan bahasa. Dalam proses komunikasi bahasa bukan sekadar sarana untuk dimuati oleh pesan, tetapi pilihan bahasa memiliki arti yang sangat penting terhadap proses pemaknaan. Menurut teori Terministic Screen dari Burke, bahasa mempunyai makna yang amat penting. "Term with not only focus the attention of the audinece on a specific subject, but also limit the audience' perception and direct the audience though and belief system" (Burke, 1966). Disini bahasa tidak hanya untuk memfokuskan perhatian khalayak pada masalah tertentu, tetapi juga membatasi persepsi mereka dan mengarahkannya pada cara berpikir tertentu.

Permasalahannya adalah apabila bahasa yang digunakan menggunakan bahasa kekerasan, atau puffery. Yaitu bahasa yang menurut Preston dan Johnston diartikan sebagai: Blow up, exaggerate, over state, or state superlatives concerning matters of subjectives judsments and opinion…(Presston dan Johnson, 1972:558).

Namun karena media massa dengan insan pengelolanya memiliki berbagai kepentingan, termasuk kepentingan politik, maupun ekonomi, ataupun juga ada keterbatasan profesionalisme maka tak jarang berita surat kabar tidak memenuhi tuntutan standar jurnalisme. Hal demikian menjadi amat penting untuk diketahui, terutama bersamaan dengan adanya agenda politik nasional yang diwarnai dengan konflik antar elite. Sekaligus masih seringnya terjadi konflik kekerasan di berbagai daerah, baik itu berupa kerusuhan SARA, maupun separatisme, dan konflik politik lokal.

Kesimpulan

Dalam upaya mengeliminir pemberitaan yang cenderung lebih mengedepankan pemberitaan kekerasan konflik, dan kerusuhan SARA, tampaknya jurnalisme damai merupakan solusi yang perlu diterapkan insan - insan media dalam mencegah –meminimalisir- potensi konflik dan memperbesar ruang bagi potensi integrasi bangsa (nation and character building).

Jurnalisme Damai adalah penerapan jurnalisme dalam berita yang menggunakan ukuran-ukuran etis, seperti memisahkan antara fakta dan opini media, menerapkan azas impartialitas atau tidak memihak, memberitakan dengan tidak menonjol-nonjolkan kekerasan itu sendiri melalui ukuran dan penempatan yang "berlebihan", serta tidak menggunakan istilah atau bahasa yang mendorong permusuhan. Kemudian memberikan kesempatan suara pada voiceless, bukan suara para elite yang bertikai. Lebih berorientasi pada korban yang tidak tampak, yang bersifat jangka panjang. Pemberitaannya cenderung lengkap, melakukan mapping terhadap persoalan, mencari akar permasalahan, dan solusi, bukan pemberitaan justru terkonsentrasi pada arena konflik.

Rekomendasi

Untuk penerapan jurnalistik damai setidaknya media massa nasional mengedepankan unsur-unsur sebagai berikut :.

a. Tidak mencampurkan antara fakta dan opini yang berasal dari wartawan, yang diindikasi dengan kata-kata : tampaknya, diperkirakan, seakan-akan, terkesan, kesannya, seolah, agaknya, diramalkan, kontroversi, mengejutkan, manuver, sayangnya, dan kata-kata opinionatif lainnya.

b. Adanya keseimbangan pemberitaan (cover both side), artinya ketidakberpihakan pemberitaan.

c. Tidak membesar-besarkan berita (konflik), ditempatkan sebagai berita utama (exagerrate).

d. Tidak menggunakan bahasa yang bersifat puffery (kekerasan)

e. Menggunakan konsep "giving voice to the voiceless" (memberikan kesempatan bicara pada mereka yang tidak bersuara).

f. Berita yang disampaikan lebih memperhatikan akibat (implikasi) yang ditimbulkan oleh pertikaian.

g. Beritanya berorientasi lebih banyak pada arena konflik, yaitu hanya meliput konfliknya saja, dan deskripsi di daerah pertikaian. Pemberitanya lebih diarahkan sebagai persoalan yang tidak sederhana, melakukan mapping, mencari atau melihat latar belakang masalah, problem-problem kultural dan politik yang mendasari, serta diharapkan dapat memberi alternatif solusi.

Daftar Kepustakaan

Akbar, Akhmad Zaini, “1966-1974 Kisah Pers Indonesia”, LkiS, 1995

Henry Subiakto, Kompas, Jurnalisme Damai, 18 Desember 2000.

Kompas, Mencegah Disintegrasi Bangsa, Debat Publik Seputar Reformasi Kehidupan Bangsa, Jakarta, 1999.

Lembaga Informasi Nasional dan Institut Pengembangan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (INPEDHAM), Yogyakarta, “Studi Pengembangan Informasi Potensi Konflik dan Potensi Integrasi Bangsa”, tahap I, 2002.

The Crisis of Public Communication, (London : Routledge, 1995)

Siebert, Fred S., Theodore Peterson & Wilbur Schramm, Four Theories of The`Press. (Urbana : University of Illionis Press, 19)

Tuchman, Gaye. Making News, (New York : Free Press, 1978)

Victor Causin (1983), dalam William. L. Rivers Cleve Mathews, Etika Media Massa dan Kecenderungan Untuk Melanggarnya, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994.

Lync, Jake and Anabel, Towards Peace Journalism http//members aol.com/jarrettjs/conflict/homepage.

Floyd, Fiona, Reportase untuk Perdamaian, buku 1 dan 2, internews Indonesia,2000

Thompson, Mark, Forging War, University of Luton Press Bedfordshire 1999

Mc Quail, Denis, Mass Communicatin Theory, Sage Publication, London, 2000

Cote, William Cote, William and Simpson Roger, Covering Violence, Columbia University Press, 2000

http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/14/opi4.htm



[1] Peneliti di Pusat Litbang Aptel, SKDI-Badan Litbang SDM- Depkominfo.

Sebagian data artikel ini disediakan oleh Drs. Henry Subiakto, SH, MA; Staf Ahli Menkominfo, Bidang Media Massa, Depkominfo, Ketua Program Pasca Sarjana Studi Media dan Komunikasi, FISIP Universitas Airlangga.

[2] http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/14/opi4.htm

[3] Henry Subiakto, Kompas, Jurnalisme Damai, 18 Desember 2000

[4] Muhammad Ali, “Jurnalisme Damai, Suatu Keniscayaan”, dikutip dari

http://www.suaramerdeka.com/ Harian/0502/14/0pi4.htm

[5] Henry Subiakto, Kompas, Jurnalisme Damai, 18 Desember 2000.

[6] Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interprestasi khalayak sesuai perspektifnya. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang akan diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebu. (Eriyanto, “Analisis Framing”, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LkiS, Yogyakarta, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar